Rabu, 14 Desember 2011

Mumi di pagar alam

Penemuan Mumi Berkonde Di Pagar Alam Sumatera Selatan






Warga Kota Pagaralam, Sumatra Selatan, menemukan benda berbentuk mumi diSungai Selangis Dusun Gunung Ilir, Kecamatan Dempo Utara. Penemuan itu tidak jauh dari batu megalit kerbau. Posisi benda tersebut tertimbun tanah dan muncul akibat tanah terkuras air sungai saat terjadi banjir di sekitar sawah milik Irumsyah, warga setempat.


Menurut Irumsyah, benda itu ditemukan sepasang bentuknya hanya tampak berwujud kepala dan setengah badan, sedangkan satu lagi berbentuk seperti perahu dengan ukuran tinggi sekitar 20 centimeter (cm) diameter 15 cm memiliki berat sekitar 1 kilogram.


sumber: http://www.nikonews.co.cc


Dikatakannya, benda berbahan mirip kayu yang sudah mengering diolesi pernis itu, tampak mengkilat dan bila difoto menggunakan kamera seluruh bagian seperti diselimuti lapisan lemak.


Awal penemuan batu ini, menurut dia, melalui mimpi akan terjadi musibah tanah longsor, kemudian akan ada benda muncul tepat berada di lokasi tersebut.


Sesuai firasat mimpi memang terjadi banjir yang disertai longsor cukup besar, dan tidak jauh dari megalit batu kerbau muncul dua buah benda yaitu satu berbentuk badan manusia menyerupai mumi dan satu lagi seperti perahu.


Kepala Dinas Pariwisata dan Senibudaya, Syafrudin, mengatakan, penemuan sudah sering terjadi terutama batu megalit di daerah Pagaralam, bahkan ada sebagian yang sudah dilakukan pelestarian dengan memagar keliling, namun sebagian lagi masih terbentur dana




PAGARALAM KOTA PERJUANGAN
Oleh
Disampaikan
Seminar Nasional Peradaban Besemah Kuno Sebagai Penghulu Kerajaan Sriwijaya
Tempat Aula Serba Guna SD Model Komplek Perkantoran Gunung Gare Kota Pagaralam, 2 Maret 2009




“ Masalahnya bukan persoalan benar atau salah
tetapi unsur yang sangat penting dalam legenda
adalah peran dan fungsinya sebagai pemersatu kehidupan suatu masyarakat ”




PENDAHULUAN
Dari tinjauan kesejarahan, keberadaan Besemah (Sumber Belanda menyebutkan Pasemah, merujuk bagian hikayat Pasemah Libagh) terutama dapat dilihat pada masa pra hingga masa Kesultanan Palembang Darussalam. Pada masa inilah dikenal istilah marga. Pada masa pemerintahan Sido Ing Kenayan yang naik tahta sekitar tahun 1629, di buat semacam undang – undang yang mengatur hubungan antara Palembang dan daerah pedalaman. Selanjutnya hubungan ini makin efektif pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Khalipatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Pertama kesultanan Palembang), yang memerintah pada masa 1651 – 1706 M. Setelah kesultanan Palembang dikalahkan oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal. De Kock, Sultan Mahmud Badaruddin II selaku penguasa kesultanan Palembang menyerah kalah. Kekalahan ini mempunyai arti penting dan merupakan babak baru bagi sejarah Besemah.
 Asal Usul Suku Besemah
Besemah adalah suatu peradaban budaya yang sudah maju pada masa prasejarah. Hal ini dibuktikan dengan adanya relief yang terdapat pada monument nasional di Jakarta. Besemah merupakan suku melayu, dalam kawi kuno memiliki arti : pelarian / pengungsian dari dataran tiongkok yang dikenal dengan mongolith dan Persia.
Mengenai asal usul suku besemah, hingga saat ini masih berupa legenda rakyat, yaitu Atung Bungsu, yang merupakan salah satu diantara 7 orang anak ratu (=Raja) Majapahit, yang melakukan perjalanan menelusuri suangai nusantara yang  berakhir disungai lematang, akhir memilih tempat bermukim di dusun Benua Keling. Atung Bungsu menikah dengan Putri Ratu Benua Keling, bernama Senantan Buih (Kenantan Buih). Melaui keturunannya Bujang Jawe (Puyang Diwate), Puyang Mandulike, Puyang Sakesemenung, Puyang Sake Sepadi, Puyang Sake Seghatus, dan Sake Seketi yang menjadikan penduduk jagat Besemah. Masalahnya bukan persoalan benar atau salah, tetapi unsur yang sangat penting dalam legenda adalah peran dan fungsinya sebagai pemersatu kehidupan suatu masyarakat (Jeme Besemah). Legenda ini dapat menjadi antisipasi Disintegrasi kesatuan dan persatuan jeme besemah kemana pun mereka berada. Hal ini sudah tampak dalam beberapa dekade, terutama setelah pemerintahan marga dihapuskan. Perlu selalu ditanamkan perasaan dan keyakinan bahwa jeme Besemah itu (termasuk jeme semende dan jeme kisam) berasal dari satu keturunan.

Berdirinya Dusun Jagat Besemah

Puyang Kunduran membuat dusun masam bulau (Ulu Manak) dan dikemudian hari anak cucunya membuat dusun Gunung Kerte, termasuk Sumbay Besak (Sumbay Besar); Puyang Keriye Beraim membuat dusun Gunung Kaye, dan Sumur. Kemudian anak cucu keriye Beraim membuat dusun Talang Tinggi dan Muara Jauh ( Ulu Rurah ), Puyang Belirang membuat dusun Semahpure dan anak cucunya pindah pula membuat dusun di Ulu Manak. Puyang Raje Nyawe pindah juga membuat dusun Perdipe, Petani, dan Pajar Bulan. Anak cucunya pindah juga membuat dusun Alun Dua, Sandarangin, Selibar, Rambaai Kaca, Sukemerindu, Kutaraye, Babatan, Sadan, Nantigiri, Lubuk Saung, Serambi, Bandaraji, Ulu Lintang; Bangke, Singapure, Ulu Lebar, Gunung Liwat, Tanjung Beringin, Ayik Dingin, Muara Sindang, Tebat Benawa, Rempasai, Karang Anyar, semua nya masuk Sumbay Besak. Puyang Raje Nyawe pindah ke semende, membuat dusun pajar bulan. Puyang Raje Nyawe kembali ke dusun Perdipe menyebarkan agama Islam dan adat istiadat perkawinan secara Islami. Dari semende banyak penduduk yang pindah ke Kisam dan masih banyak cerita mengenai pendiria dusun – dusun di tanah Besemah ini.

Sistem Pemerintahan Tradisional
Sistem pemerintahan tradisional di daerah Besemah disebut Lampik Empat Merdike Due yang dipimpin oleh kepala – kepala Sumbay. Besemah waktu itu merupakan suatu “REPUBLIK” yang paling demokratis. Tanggung jawab dan kesetiaan sangat ketat dibina oleh orang Besemah. Rasa Solidaritas dan Loyalitas yang sangat tinggi itulah yang menyebabkan prajurit – prajurit Besemah dapat melakukan perlawanan terhadap kolonialisme hal yang mengiringi rasa solidaritas dan loyaalitas yang tinggi itu baik didalam keluarga batih, keluarga luas virilokal maupun pada suku besemah secara umum adalah konsep “dimak kepadunye” dan “dide beganti”.


Sindang Merdike dan Si Penjaga Batas
Status “Sindang Merdike” dan “Sipenjaga Batas” dan system pemerintahan tradisional “Lampik Empat Merdike Dua”  menjadi terancam dan sirna setelah Kolonialis Belanda dapat melakukan perlawanan Sultan Mahmud Badarudin II. Pada perang Palembang pada tahun 1819 dan tahun 1821. Dalam hubungannya dengan  Kesultanan Palembang, suku Besemah selalu menganggap dirinya sebagai orang yang bebas, orang merdeka. Hubungan Sultan Palembang dengan Suku Besemah lebih bersifat suzeverenitas (Hens, 1909 : 12 – 15) kewajiban “milir seba” Bukit Seguntang pada tiap tiga tahun sekali, lebih diartikan sebagai nggahi kelaway tue, Putri Sindang Biduk. Sultan Palembang yang cukup menghormati orang – orang besemah, terbukti dengan status yang diberikannya yaitu status “Sindang Merdike” dan “Si Penjaga Batas” (Grensbewakers).
Suku besemah sering melakukan (istilah Belanda onlusten, woelingen,rustverstoring), yang berarti membuat “kerusuhan” membuat “huru-hara” atau mengganggu ketentraman. Menyadari bahwa pihak Belanda pasti akan melakukan serangan, orang Besemah membuat benteng – benteng pertahanan yang kuat, disebut kute di beberapa dusun. Misalnya Kute Gelung Sakti, Kute Penandingan, Kute Tebat Seghut, Kute Agung, Kute Munteralam, dan kute – kute lainnya. Pimpinan Militer Belanda memutuskan mengirimkan ekspedisi militernya untuk menghancurkan kekuatan orang – orang Besemah, yang dilaksanakan pada bulan April hingga bulan Juni tahun 1866.


Belanda Mengalahkan Besemah
Oleh karena persenjataan yang lebih modern, pengalaman perang yang cukup, dan pasukan yang terlatih, akhirnya Belanda dapat menguasai satu per satu kute pertahanan prajurit – prajurit Besemah, yaitu Kute dusun Gelung Sakti, Kute Penandingan, Kute Tebat Seghut, Kute-Agung, Kute Menteralam, dan lain – lain. Pada pertempuran di kute – kute tersebut terlihat bahwa prajurit – prajurit Besemah lebih memilih kemungkinan mati dari pada menyerah, terutama pada pertempuran di tebat seghut dan munteralam. Setelah mengalahkan perlawanan di daerah Besemah Liagh (Besemah Lebar), pasukan Belanda melanjutkan serangannya ke Besemah Ulu Manak untuk menangkap tokoh – tokoh pimpinan besemah yang bersembunyi di daerah ini.
Kekalahan ini menyebabkan rakyat Besemah haarus tunduk kepada peraturan yang dikeluarkan dikeluarkan pemerintah Belanda. Misalnya, mereka harus membayar pajak tanah, pajak rumah, menghentikan perdagangan budak, dan menghentikan kebiasaan menyabung ayam. Peraturan dan ketentuan – ketentuan ini merupakan hal baru dan sangat memberatkan bagi orang – orang Besemah yang tidak ada sebelumnya. Hal ini berarti, status “Sindang Merdike” dan “Sipenjaga Batas” menjadi hilang. Dengan kekalahan tersebut, mulailah daerah Besemah di jajah Belanda dengan segala penderitaan dan kesulitan ekonomi. Penderitaan ini berlangsung hampir selama 82 tahun.

Perang Pasifik dan Penjajahan Jepang
Kekuasaan Belanda yang tampak sangat kuat, dengan mudah dikalahkan oleh bala tentara Jepang pada perang Pasifik di bulan Februari 1942. pertahanan sekutu dilaut jawa dapat dipatahkana. Pasukan jepang mendaraat di beberapa tempat di kepulauan Indonesia. Menyerahnya Belanda kepada Jepang pada tanggal 9 Maret 1942, menyebabkan Belanda kehilangan jajahannya di Indonesia.
Mulailah babak baru dalam sejarah Indonesia, yakni Indonesia di jajah oleh bangsa Jepang. Rakyat Indonesia semakin menderita di bawah kekuasaan jepang. Balatentara Jepang ternyata lebih kejam bila dibandingkan dengan kolonialis Belanda. Jepang yang pada awal perang Asia Timur Raya sangat opensif, berubah menjadi defensive dan tertekan oleh kekuatan sekutu, sehingga terdesak di berbagai front pertempuran, termasuk di wilayah Indonesia.

Ghuyun Kanbu
Untuk mengatasi kekurangan pasukan, Jepang membentuk satuan militer pribumi, yang disebut Ghuyun Kanbu (Infanteri Ghuyun).
Angkatan pertama Ghuyun di latih di Kota Pagar Alam, tepatnya di Balai Istirahat, di Belakang rumah sakit Juliana (Juliana Hospital), di Jalan ke arah dusun Pematang bange.  Dari pusat latihan Ghuyun di Pagar Alam dihasilkan prajurit dan perwira – perwira yang cakap dan terampil menggunakan senjata, mengatur strategi perang serta teknik – teknik berperang yang kemudian sangat bermanfaat dalam perang mempertahankan kemerdekaan. Faktor inilah yang dapat dijadikan sebagai salah satu dasar kriteria untuk menyebut Pagar Alam sebagai “Kota Perjuangan”.






Proklamasi Kemerdekaan 
Akhirnya Jepang menyerah kepada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945. Kemerdekaan Indonesia di Proklamasikan Soekarno-Hatta pada  tanggal 17 Agustus 1945. tidak semua daerah mengetahuinya. Oleh karenanya upacara penaikan Bendera Sang Merah-Putih, tidak sama waktunya antara satu daerah dengan daerah lainnya, termasuk Kota Pagar Alam.
Pada tanggal 21 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB, pada pemuda pejuang mengibarkan bendera merah putih di Pagar Alam (Bastari 192 : 2005). Upacara penaikan Bendera dilaksanakan di halaman toko Datuk Seri Maharajo, rumah keluarga Sofjan Rasjad (Saat ini telaah menjadi Toko cuci cetak foto modern). Hadir dalam upacara penaikan bendera itu antara lain : Siddik Adiem, datuk Seri Maharajo, Depati M. Hasyim R, Kenasin, Agam, Almunir, Tjik Seman, Tjik Nunung, Djinal Genting, M. Sohan Sumur, M. Djahri, Ardjo Talang Kelape, dan beberapa anggota Hizbul Wathan.
Pemerintah Indonesia kemudian membentuk pemerintahan hingga ke daerah – daerah. Terbentuklah kewedanaan Tanah Pasemah pada Oktober 1945. Kewedanaan ini membawakan empat kecamatan, yaitu Pagar Alam sebagai ibu kota kewedanaan Kecamatan Tanjung Sakti, Kecamatan Jarai, Kecamatan Kota Agung.

Pertemuan di Tebat Limau
Sebagai suatu Negara yang telah merdeka, Indonesia berusaha mengambil alih kekauasaan politik dan militer, terutama usaha untuk mengambil atau merebut senjata dari tangan Jepang, Mayor Ruslan mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan di Tebatlimau, dekat dusun Pelang Kenidai yang dihadiri oleh semua unsur pemerintahan, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID), Wedana, Polisi, Para Pesirah, Kepala – kepala Sumbay dan pimpinan tentara Keamanan Rakyat (TKR) / laskar.
Terjadi pertempuran – pertempuran dengan tentara jepang di Butai – Butai jepang di Gununglilan, Bumi Agung, Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) Jerambah Beringin, dan Karang Dale. Pada pertempuraan – pertempuran di butai – butai Jepang tersebut telah gugur beberapa putera terbaik Besemah, antara lain Mayor Ruslan, Sersan Ansori, Serma Wanar, Musalim, Zainal, Salam, Tulip, Dung, Marzuki, Zainawi, Jinal, Kamal, Abdullah, Siakip, dan beberapa orang lainnya yang tidak tercatat. Setelah balatentara menyelesaikan tugas yang diberikan Sekutu dan mereka dikembalikan ketanah airnya. Perjuangan rakyat Indonesia belum berakhir. Belanda (NICA) datang kembali ke Indonesia. Terjadi pertempuran dengan pihak sekutu / Belanda yang mencapat puncaknya pada Pertempuran Lima Hari Lima Malam (PLHLM) tanggal (21 juli 1947) dan Agresi  Militer II (19 Desember 1948). Rakyat Sumatera Selatan melakukan perlawanan sengit, sangat heroik, dan semangat rela berkorban yang sangat tinggi baik harta maupun nyawa, demi unuk mempertahankan kemerdekaan perlawanan yang demikian termasuk juga di kewenangan tanah pasemah.

Peran Rakyat Besemah dalam PLHLM DAN AM I
Pada Agresi Militer 1 Belanda, rakyat dikeweanan Tanah Pasemah belum secara langsung  berperang karena Belanda  belum berhasil sampai ke Tanah Pasemah. Namun rakyat Besemah telah  ikut berperan pada pertempuran lima hari lima malam  dan Agresi  Militer I, yaitu memberikan bantuan personil (prajurit) dan logistik (beras dan sayur-sayuran) .memang sudah ada usaha  Belanda untuk melakukan serangan ke pagaralam (ibukota kewedanaan Tanah Pasemah), tetapi niat ini tidak terealisasi Karena sudah persetujuan itu, ditetapkan  garis demarkasih pertempuran  di dusun  Tanjung Tebat.

Perlawanan Rakyat di Tanah Besemah AM II 
Pada agresi militer II Belanda (Desember 1948), ada tiga daerah yang menjadi target sasaran yaitu, Muara Dau (Sekarang OKU Selatan) Tebing Tinggi, dan Pagar Alam. Pertahanan Kota Pagar Alam. Dibebankan kepada Balyon XVI STP (Sub Teritorium Palembang) yang berkekuatan enam kompi, yaitu kompi I kapten Satar, Kompi II Lettu Ichsan, Kompi III Lettu Yahya Bahar, Kompi IV Lettu Nahwi, Kompi V Lettu Adenan Ibrahim, dan Kompi VI H.S. Simanjutak. 
Untuk mempertahankan kota Pagar Alam ini, dibentuk tiga front yaitu front mingkik untuk menghadang pasukan belanda diluar ndikat, frony selangis untuk menghadapi Belanda yang akan masuk simpang rantau-unji dan front padang kaghit (ordeming kopi yang dulu milik belanda) front padang kaghit di pimpin Lettu Yahya Bahar. Untuk menghambat pasukan belanda yang akan masuk lewat Tanjung Tebat, Jeramba Ndikat terpaksa dihancurkan. Penghancuran ini lakukan oleh prajurit Agam dan kawan – kawan.
Pimpinan pasukan Belanda yang sejak awal memperkirakan bahwa luang ndikat sukar ditembus, juga melakukan pengiriman pasukan melalui jalan jepang yang bias tembus ke simpang rantau-unji, front selangis, front padang kaghit, kota Pagar Alam dan terus ke daerah impit Bukit. Pasukan TNI, laskar pejuang dan rakyat melakukan perlawanan sengit di front Selangis Besar. Namun, karena persenjataan yang tidak seimbang, perlawanan ini dapat dipatahkan oleh belanda. Pasukan TNI, lascar dan rakyat pejuang terpaksa melakukan gerakan mundur ke hutan – hutan, untuk selanjutnya melakukan perang guerilla (gerilya) melakukan penghadangan – penghadangan ditempat – tempat strategis dengan memasang landsmijn (ranjau darat).


Politik Bumi Hangus 
Pihak TNI laskar dan rakyat pejuang melakukan politik bumi hangus, terutama pada bangunan – bangunan milik Belanda, agar tidak dipergunakan lagi oleh pasukan Belanda. Misalnya pembumihangusan bangunan dikompleks BPM Jeramba Beringin, Demporeokan, kantor wedana tangsi polisi dan bangunan – bangunan diperkebunan teh gunung dempo.
Peran Tanjung Sakti
Tanjung Sakti mempunyai peranan yang sangat besar terutama setelah pimpinan teras TNI yang sebelumnya bermarkas di Lubuk Linggau dipindahkan ke cughup, kemuara Aman, dan akhirnya ke Tanjung Sakti, pimpinan teras TNI ini di pimpin oleh Kolonel Bambang Otoyo dan kepala staf nya adalah Kapten M. Yunus. Tanjung Sakti juga menjadi pusat pemerintahan sipil keresidenan Palembang yang dipimpin residen Abdul Rozak. Demikian pula Bupati Amaluddin, Wedana Wangi, Wedana Ibrahim, Wedana Abdullah Sani, Siddiq Adem (Kepala penerangan) dan lain – lain berada di Tanjung Sakti. Dari kepolisian keresidenan palembang terdapat nama – nama Komisaris Polisi Sugondo, Inspekur Polisi Taslim Ibrahim, Inspektur Polisi Abdullah Amaludin. Inspektur Polisi palma, Yasin, dan Cek Umar. Kepala Penerangan dan Kepala Kesehatan juga berada di Tanjung Sakti, serta masih banyak tokoh pejuang lainnya, misalnya Rasyad Nawawi, Satar, Nurdin, Syamsul Bachri Umar (Tatung), Idham, Djarab, Nurdin Pandji Ibrahim, Bachrun Umar, Basri, Ali Syarief, Sahid, Munir, Cek Asim, dan lain – lainnya. Dari Tanjung Sakti dikendalikan pemerintahan, pengaturan taktik dan strategi melawan Belanda. Untuk mengatasi kesulitan alat tukar, dicetak uang kertas “OERIP” (Oeang Repoeblik Indonesia Perdjoeangan).
Pasukan Belanda mengetahui tentang keberadaan pemerintahan sipil dan kekuatan militer di Tanjung Sakti. Oleh karena itu, mereka melakukan serangan – serangan dengan menjatuhkan bom di beberapa tempat. Beberapa di antaranya meluluhlantakkan beberapa rumah. Tetapi banyak juga yang tidak meledak, yang kemudian digunakan oleh TNI sebagai bahan untuk merakit senjata guna melawan pasukan belanda. Dapat dikatakan, bahwa Tanjung Sakti tidak pernah di injak oleh kaki tentara Belanda yang ingin menjajah kembali dan Tanjung Sakti merupakan satu – satunya pertahanan di Kabupaten Lahat yang mampu bertahan sampai penyerahan kedaulatan bulan November 1949 (mendahului penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949).



ADMINISTRATIF DAN PERJUANGAN
Seiring perkembangan pemerintahan pusat, system pemerintahan di daeraah – daerah juga mengalami perubahan. Presiden Soekarno mengeluarkan peraturan presiden Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1963 tentang penghapusan keresidenan dan kewedanaan. Dengan demikian, tidak ada lagi pemerintahan kewedanaan tanah pasemah,sehingga mengubah posisi Pagar Alam sebagai Kecamatan Pagar Alam di bawah Kabupaten Lahat.
Awal tahun 1987, tokoh – tokoh masyarakat Pagar Alam berjuang mengusulkan agar kecamatan Pagar Alam menjadi Kota Administratif (Kotif). Terbentuklah panitia, yang kemudian mengajukan surat permohonan kepada Mendagri pada tanggal 15 April 1987. berkat dukungan semua pihak, akhirnya permohonan masyarakat Pagar Alam untuk menjadikan Pagar Alam sebagai kotif dikabulkan Pemerintah Pusat, dengan terbitnya peraturan pemerintah Nomor 63 Tahun 1991 tentang pembentukan kota Administratif Pagar Alam dan pemekaran wilayah Kecamatan Pagar Alam menjadi 4 kecamatan, yaitu kecamatan Pagar Alam Utara, Kecamatan Pagar Alam Selatan, Kecamatan Dempo Utara, dan Kecamatan Dempo Selatan. Mendagri yang saat itu adalah Rudini, meresmikan Pagar Alam sebagai kotif pada tanggal 15 januari 1992. Mendagri juga melantik Drs. Musrin Yasak sebagai Walikota Administratif Pagar Alam yang pertama dan menetapkan Kota Pagar Alam sebagai Kota Perjuangan.
Pagar Alam menjadi Kota Administratif melalui Undang – undang Nomor 8 Tahun 2001 tentang pembentukan Kota Pagar Alam dan peresmian dilakukan oleh Mendagri pada tanggal 17 Oktober 2001. Gubernur Sumatera Selatan H. Rosian Arsyad atas nama Mendagri melantik Pejabat Walikota Pagar Alam H. Djazuli Kuris pada tanggal  12 November 2001.
Demikianlah kilas balik perjuangan rakyat di Kewedanaan Tanah Pasemaah, mulai dari zaman “Lampik Empat Merdike Due”, “Sindang Merdike”, dan “Si Penjaga Batas” hingga penyerahan kedaulatan, yang karena perlawanan gigih, ulet dan pantang menyerah dari TNI, laskar, Tentara Pelajar, Pemuda – Pemudi Besemah di Pagar Alam dan sekitarnya, serta rakyat pejuang pada umumnya sehingga kita dapat menyebut kota Pagar Alam sebagai “Kota Perjuangan”. Sejarah yang sangat heroic ini perlu selalu di kenang dan dijadikan pedoman dalam mengisi kemerdekaan, juga tidak lupa akan selalu menghormati jasa para pahlawan, khususnya yang gugur di Tanah Besemah.

May 10, '08 3:17 PM
untuk semuanya
Masjid Agung Palembang merupakan salah satu peninggalan Kesultanan Palembang. Masjid ini didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I atau Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikramo mulai tahun 1738 sampai 1748. Konon masjid ini merupakan bangunan masjid terbesar di Nusantara pada saat itu.

Masjid Agung Palembang pada mulanya disebut Masjid Sultan dan dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Peresmian pemakaian masjid ini dilakukan pada tanggal 28 Jumadil Awal 1151 H (26 Mei 1748). Ukuran bangunan mesjid waktu pertama dibangun semula seluas 1080 meter persegi dengan daya tampung 1200 jemaah. Perluasan pertama dilakukan dengan wakaf Sayid Umar bin Muhammad Assegaf Altoha dan Sayid Achmad bin Syech Sahab yang dilaksanakan pada tahun 1897 dibawah pimpinan Pangeran Nataagama Karta mangala Mustafa Ibnu Raden Kamaluddin.

Pada awal pembangunannya (1738-1748), sebagaimana masjid-masjid tua di Indonesia, Mesjid Sultan ini pada awalnya tidak mempunyai menara. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774) barulah dibangun menara yang letaknya agak terpisah di sebelah barat. Bentuk menaranya seperti pada menara bangunan kelenteng dengan bentuk atapnya berujung melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang mengelilingi bagian badan. 
Bentuk masjid yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Agung, jauh berbeda tidak seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun 1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan. 
Perluasan kedua kali pada tahun 1930. tahun 1952 dilakukan lagi perluasan oleh Yayasan Masjid Agung yang pada tahun 1966-1969 membangun tambahan lantai kedua sehingga luas mesjid sampai sekarang 5520 meter persegi dengan daya tampung 7.750.
Masjid Agung merupakan masjid tua dan sangat penting dalam sejarah Palembang. Masjid yang berusia sekitar 259 tahun itu terletak di Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, tepat di pertemuan antara Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, pusat Kota Palembang. Tak jauh dari situ, ada Jembatan Ampera. Masjid dan jembatan itu telah menjadi land mark kota hingga sekarang.
Dalam sejarahnya, masjid yang berada di pusat kerajaan itu menjadi pusat kajian Islam yang melahirkan sejumlah ulama penting pada zamannya. Syekh Abdus Samad al-Palembani, Kemas Fachruddin, dan Syihabuddin bin Abdullah adalah beberapa ulama yang berkecimpung di masjid itu dan memiliki peran penting dalam praksis dan wacana Islam.

pempek wonk kito

Sejarah Pempek Palembang

pempek palembangPempek atau Empek-empek adalahmakanan khasPalembang yang terbuat dariikan dan sagu. Sebenarnya sulit untuk mengatakan bahwa pempek adalah pusatnya adalah Palembang karena hampir di semua daerah di Sumatera Selatan memproduksinya.
Penyajian pempek palembang ditemani oleh saus berwarna hitam kecoklat-coklatan yang disebut cuka ataucuko (bahasa Palembang). Cuko dibuat dari air yang dididihkan, kemudian ditambah gula merah, cabe rawit tumbuk, bawang putih, dan garam. Cuko adalah teman makan pempek yang setia, dibuat pedas untuk menambah nafsu makan. Ada juga cuko manis bagi yang tidak menyukai pedas.
Jenis pempek palembangyang terkenal adalah “pempek kapal selam” adalah telurayam yang dibungkus dengan adonan pempek dan digoreng dalam minyak panas. Ada juga yang lain seperti pempek lenjer, pempek bulat (atau terkenal dengan nama “ada’an”), pempek kulit ikan, pempek pistel (isinya irisan pepaya muda rebus yang sudah dibumbui), pempek te lur kecil, dan pempek keriting.
Pempek bisa ditemukan dengan gampang di seantero Kota Palembang. Ada yang menjual di restoran, ada yang di gerobak, dan juga ada yang dipikul. Juga setiap kantin sekolah pasti ada yang menjual pempek.� Tahun 1980-an, penjual pempek bisa memikul 1 keranjang pempek penuh sambil berkeliling Kota Palembang jalan kaki menjajakan makanannya!. Pempek sekarang ada dua jenis yaitu Parempekcampuran antara Pare dan Pempek.
Menurut sejarahnya, pempek palembang telah ada di Palembang sejak masuknya perantau Cina ke Palembang, yaitu di sekitar abad ke-16, saat Sultan Mahmud Badaruddin II berkuasa di kesultanan Palembang-Darussalam. Nama empek-empek atau pempek diyakini berasal dari sebutan “apek”, yaitu sebutan untuk lelaki tua keturunan Cina.
Berdasar cerita rakyat, sekitar tahun 1617 seorang apek berusia 65 tahun yang tinggal di daerah Perakitan (tepian Sungai Musi) merasa prihatin menyaksikan tangkapan ikan yang berlimpah di Sungai Musi. Hasil tangkapan itu belum seluruhnya dimanfaatkan dengan baik, hanya sebatas digoreng dan dipindang. Si apek kemudian mencoba alternatif pengolahan lain. Ia mencampur daging ikan giling dengan tepung tapioka, sehingga dihasilkan makanan baru. Makanan baru tersebut dijajakan oleh para apek dengan bersepeda keliling kota. Oleh karena penjualnya dipanggil dengan sebutan “pek � apek”, maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai empek-empek atau pempek.[1]
Namun cerita rakyat ini patut ditelaah lebih lanjut karena singkong baru diperkenalkan bangsa Portugis ke Indonesia pada abad 16. Selain itu velocipede (sepeda) baru dikenal di Perancis dan Jerman pada abad 18. Walaupun begitu sangat mungkin pempek palembang merupakan adaptasi dari makanan Cina seperti baso ikan, kekian ataupun ngohyang.
Pada awalnya pempek palembang dibuat dari ikan belida. Namun, dengan semakin langka dan mahalnya harga ikan belida, ikan tersebut diganti denganikan gabus yang harganya lebih murah, tetapi dengan rasa yang tetap gurih.
Pada perkembangan selanjutnya, digunakan juga jenis ikan sungai lainnya, misalnya ikan putak, toman, dan bujuk. Dipakai juga jenis ikan laut sepertiTenggiriKakap Merah, parang-parang, ekor kuning, dan ikan sebelah.
sumber: wikipedia

Artikel Terkait:

cerita rakyat palembangsejarah pempeksejarah pempek palembangcerita rakyat sumselcerita rakyat dari palembangsejarah empek-empekcerita rakyat sumatera selatancerita palembangsejarah empek-empek palembangikan belida palembang

sriwijaya fc palembanng

Sikap Ke Fans
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
4.5
Faktor Kebencian
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
4.0
Manajemen
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
5.5
Kekuatan Belanja
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
3.5
Stabilitas
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
4.0
Stadion
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
6.0
Dukungan
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
6.5
Jersey
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
4.0
Penggunaan Dana
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
7.0
Kualitas Laman Web
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
3.0
Jangkauan Global
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
4.0
Sistem Pembinaan Remaja
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
3.0
Susunan Ideal
Daftar Pemain & Pelatih